LIPI: Kemajemukan Harus Dikelola Jadi Kekuatan

By Admin


nusakini.com - Isu pluralitas atau kemajemukan dan minoritas bukanlah hal baru di Indonesia. Hasil riset telah membuktikan bahwa perbedaan sekecil apapun dapat memicu konflik dan gerakan destruktif.

“Namun yang lebih penting dari itu, kemajemukan hendaknya dikelola dan dimanfaatkan menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia dalam konteks kebangsaan,” ungkap Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti saat membuka Seminar Nasional Pluralitas dan Minoritas dalam Konteks Kebangsaan di LIPI Jakarta, Kamis (1/12) lalu. 

Nuke menekankan, kemajemukan merupakan identitas Indonesia, dan persoalan yang belakang ini muncul terkait perbedaan memang menjadi ujian bagi bangsa kita. Permasalahan pluralitas dan minoritas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di tingkat global. “Contohnya saja retorika anti-muslim, di mana identitas politik berbasis agama menonjol dan membawa kemenangan bagi Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat,” kata Nuke. 

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Abdul Malik Fajar yang turut hadir dalam seminar tersebut menyebutkan, kemajemukan di Indonesia memang sudah disadari oleh para pendiri bangsa. “Kemajemukan ini sangat multidimensi, baik sosial budaya, agama, pilihan politik, bahkan fisik. Itulah kenapa Bhinneka Tunggal Ika diabadikan dalam simbol negara,” tuturnya. 

Menurut Malik, di awal kemerdekaan, kemajemukan merupakan kekuatan. Ini harus dipertahankan. Kemajemukan juga bisa menjadi tsunami sosial jika tidak dikelola. Untuk itu, kita perlu lebih meningkatkan keadilan, memberi keteladanan, kepekaan sosial, serta bertoleransi, harapnya. 

Globalisasi 

Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI, Ahmad Najib Burhani mengatakan, globalisasi juga membawa dampak pada perkembangan keagamaan sekaligus berpengaruh kepada kemajemukan bangsa. “Setidaknya ada tiga pola yang diciptakan oleh globalisasi,” katanya. 

Ketiga pola itu antara lain pertama adalah fundamentalisme yang menginginkan adanya homogenisas tanpa batas-batas negara di dunia, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kedua, radical resistance yang menekankan politik populis di mana menekankan pada apa yang diinginkan oleh kaum mayoritas. Serta, ketiga yakni commodified religion yang membawa identitas agama seperti makanan halal, pakaian, pariwisata, perfilman, dan lain sebagainya. 

Tak hanya itu, terkadang ketakutan-ketakutan menjadi kaum yang termarjinalkan muncul dan membawa kepada tindakan yang merugikan. “Contohnya saja peristiwa pembakaran masjid di Tolikara atau penurunan patung Budha di Tanjung Balai,” ungkapnya. 

Kondisi bangsa yang majemuk memang menyebabkan adanya tarik-menarik berbagai elemen di masyarakat. Namun Najib menegaskan, yang patut diwaspadai adalah munculnya gerakan yang memiliki kecenderungan konservatif dan memaksakan kehendak. 

“Jangan sampai munculnya fenomena sosial yang terjadi belakangan ini membenarkan bahwa sekarang ini era bagi the triumph of exclusivism atau kemenangan kelompok yang menolak keberagaman,” pungkasnya. (p/mk)